Mbak, ibu sakit keras. Segera pulang. (Parmin).
Es-em-es
Parmin yang mengabarkan perihal sakit Ibu sudah tidak mengejutkanku
lagi. Entah itu es-em-es yang keberapa, mungkin kedelapan atau kesepuluh
selama sebulan ini. Aku tidak terlalu memperhatikan. Aku belum bisa
pulang lik, nanti uang berobat kutransfer. Begitu jawabku selalu.
Namun entah mengapa es-em-es terakhir ini terasa lain. Membawa rasa
rindu yang sangat. Menyusup rasaku. Membuatku terkenang Ibu, terkenang
masa kecilku.
Bagaimana harus kuceritakan untuk menggambarkan
kegembiraan masa kecilku? Kegembiraan bocah lima tahun yang kegirangan
saat sore hari tiba. Kegembiraan saat jingga meraja di ufuk barat,
menuntun matahari memasuki peraduannya. Saat seperti itu, Ibu mengajakku
berjalan keliling rumah sambil sesekali menyuapkan makanan ke mulutku
yang usil.
“Hak dulu…hak dulu…hak? Emm..,” begitu pancing Ibu
setiap kali aku asyik berlari-lari mengitarinya. Mulutku yang asyik
menyanyi lagu asal bunyi terpaksa bergumam karena penuh nasi. “Kalau
maem, nggak boleh sambil nyanyi ya,” begitu pesannya selalu. Aku tidak
selalu mendengarkan nasehatnya. Mulutku terus bernyanyi, bergumam dan
bernyanyi kembali. Bahagiaku tumpah ruah sebab saat sore seperti itu,
Ibu hanya untukku sendiri.
Lalu kembali kami berjalan mengitari
rumah. Rumah kayu dengan pohon mangga di depannya. Tidak luas. Hanya 180
meter persegi mungkin. Sungai kecil mengalir di sampingnya, tempatku
bermain mencari ikan cupang atau keong emas. Ketika lewat di tepi sungai
kecil itu, tangan Ibu selalu menuntunku. Saat seperti itu aku dapat
berteriak menyanyi dengan keras, karena Ibu berhenti menyuapiku.
Saat
matahari semakin condong ke barat, suka citaku menghebat. Ibu
mengajakku bermain petak umpet. Aku, kemudian akan berlari kecil
mengitarinya dan bersembunyi di balik bayang tubuhnya. Ibu meningkahi
dengan berteriak nyaring memanggil namaku. “Jati..Jati…,” begitu
panggil Ibu selalu sambil kepalanya menengadah, menengok ke kanan dan ke
kiri mencariku. Aku diam berjongkok di bawah bayang gelap Ibu. Lalu
dengan tanganku kugores tanah seturut bentuk bayangannya, mencoba
membuat siluet Ibu. Dengan berpura-pura bingung, Ibu akan bergumam, Jati
dimana ya? Sejenak kemudian ia menengok ke belakang, dan aku berteriak,
hua! Bahagiaku meledak tiada terkira. Jika Ibu sudah menemukanku, ia
berpura-pura memaksaku makan. “Nah…ini dia. Ayo hak dulu! Hak? Emm..,” katanya pula.
Kenangan
itu begitu lekat. Merekat hangat di relung kalbuku. Saat rinduku pada
Ibu membuncah, kenangan itu menari-nari di depan mataku. Persis seperti
saat ini. Tanpa terasa butir-butir bening menggenangi pelupuk mataku.
Beruntung aku masih menyimpan siluet Ibu. Siluet yang kubuat saat aku
masih SMA sebagai penawar rinduku padanya. Aku membuatnya dua, satu
untukku, satu untuk Ibu. Syahdu kupandangi siluet Ibu. Rindukah
Ibu padaku? Terbayang wajahnya kala itu memuram, ketika kuputuskan untuk
pergi meninggalkannya. Sembilan tahun lalu, sebelum tapak kakiku
menyusuri hiruk pikuk pinggiran kota Bangkok.
“Kamu tidak kasihan dengan Ibu, Jat?” tanyanya waktu itu.
Aku
tidak sanggup menjawab pertanyaan itu. Jelas bahwa aku kasihan pada
Ibu. Ibu yang harus mengurus empat anaknya tanpa topang kuat tangan
lelaki. Bapak meninggalkan kami karena sakit paru-parunya sudah tidak
dapat terobati. Kakakku terpaksa menjadi kuli, menggantikan Bapak
menyangga hidup kami. Namun hidup kami tetap jauh dari sejahtera. Dua
adikku masih membutuhkan biaya untuk melanjutkan sekolahnya. Jelas bahwa
aku kasihan padanya. Justeru sebab itulah aku harus pergi. Meski harus
menjadi TKI.
“Apakah tekadmu sudah bulat untuk menjadi TKI, Jat?”
tegas Ibu sekali lagi. “Iya Bu. Maafkan Jati,” jawabku lirih. “Tapi Ibu
tidak punya apa-apa lagi untuk dijual. Ibu tidak mampu nyangoni kamu
Nduk,” keluhnya masgul. “Bagaimana kalau kita pinjam uang dulu, Bu? Pak
Hadi Atmojo mungkin mau membantu kita,” usulku mencoba mencari jalan
keluar.
Hari berikutnya Ibu sowan ke rumah Pak Hadi Atmojo. Pak
Hadi Atmojo seorang turunan ningrat, berdarah priyayi. Dialah orang
terkaya di kampung kami saat itu. Ia suka meminjamkan uangnya kepada
orang yang membutuhkan asal ada jaminan dan bersedia mengembalikan
dengan bunga tinggi. Kami tidak punya pilihan lain karena tanda tangan
Ibu tidak laku dijual ke bank. Jadilah hari itu Ibu pergi ke rumah Pak
Hadi Atmojo dengan membawa surat pensiun Bapak sebagai jaminan. Tidak
ada lagi yang tersisa di rumah! Dengan bermodal uang pinjaman itu, aku
bulatkan tekadku untuk menjadi TKI. TKI ilegal di Negeri Gajah Putih.
“Jat,
ada yang nyari lu tuh!” suara Marni membuyarkan lamunanku. Marni teman
satu apartemenku. “Laki perempuan?” tanyaku. “Laki-lah. Ngapain juga
perempuan nyari lu,” jawabnya sinis. “Tolong deh lu urus. Gue lagi nggak
enak badan nih...,” kataku memohon.
Aku sengaja memberikan alasan
itu karena sebetulnya aku sedang bad mood. Rinduku pada Ibu membuatku
hilang rasa. Rindu yang terpicu es-em-es Lik Parmin tetangga sebelah
rumah di kampung yang kepadanya perihal Ibu kuserahkan. “Lu mau
kehilangan Tuan Cheng, ATM berjalan lu?” lirik Marni nakal. “Tuan
Cheng?” tanyaku mencari peneguhan. Aku lihat Marni menganggukkan
kepalanya dengan senyum nakal.
Ia dan teman-teman satu apartemen
tahu belaka kalau aku merupakan pemijat idola Tuan Cheng, pengusaha
Indonesia yang suka plesir ke Thailand. Selain itu, mereka tentu saja
juga tahu kalau aku perempuan simpanannya. Dan Tuan Cheng adalah ATM
berjalan buatku, tidak lebih tidak kurang. Terpaksa aku menemuinya
dengan berharap lebih banyak dollar kudapat untuk biaya berobat Ibu.
“Sudah lama Koh?” tanyaku basa-basi. “Ah, kemana aja oe. Lama betul oe,
haiya?” sungutnya. “Maaf, Koh...lagi nggak enak badan,” jawabku memberi
alasan. “Oh. Kalau nggak enak badan, ya sudah, oe istirahat saja..”
katanya.
Sebenarnya aku tahu kalau Tuan Cheng sedikit menaruh hati
padaku. Itu sangat cukup berarti buatku untuk menjaganya tetap menjadi
pelanggan setia. Buatku, semua ini hanya bisnis.Tidak ada yang lain.
Titik! “Nggak papa Koh. Masih mampu kok kalau cuma mijit doang,” kataku
dengan mencoba menarik senyum meski gagal. “Bener oe?” tanyanya. “Pijit
doang Koh. Nggak ada yang lain,” kerlingku menarik simpatinya. “Nggak
boleh nambah? Haiya...” “Tetep aja nawar,” sungutku berpura-pura.
Aku
ajak Tuan Cheng ke kamarku. Lalu seperti biasa tugasku memijatnya
dengan ramuan rempah-rempah dari Jawa. Kali ini hanya memijatnya. Kadang
aku berpikir, untuk apa orang Indonesia pergi ke Thailand hanya untuk
merasakan pijatan dan rempah-rempah orang Jawa. Teringat tanah jawa,
lamunanku melayang-layang kembali.
Separah apakah sakit Ibu?
Tangan kananku terus memijat Tuan Cheng sementara tangan kiriku
memegangi siluet Ibu yang tadi sempat kusimpan di saku dasterku. Maafkan
Jati Bu, maafkan Jati, bisik hatiku berkali-kali. Tak terasa
kristal-kristal bening air mataku menetes membasahi punggung Tuan Cheng.
Ya Allah, ampunilah hamba-Mu, ratapku memohon pada-Nya. “Jati..kenapa
oe nangis? Oe sakit ha?” tanya Tuan Cheng mengagetkanku. “Nggak papa
Koh.” “Oe, punya masalah? Duit ha? Duit?” tanyanya lagi. “Iya Koh,”
jawabku tanpa basa basi. Memang aku sedang butuh duit. “Ibuku sedang
sakit di Jawa,” tambahku. Tuan Cheng tiba-tiba bangun dan duduk di
sebelahku. “Ah, oe orang tega betul ha. Ibu oe sendiri sakit, oe orang
nggak pulang, haiya..” katanya sambil menatapku penuh tuduhan.
“Sebenarnya saya ingin pulang Koh. Tapi masalah duit itu tadi. Ibu perlu
berobat. Tidak mungkin kan saya pulang cuma pulang doang?” lirihku
penuh penyesalan. “Sudahlah, oe orang pulang aja. Pakai uang I untuk
berobat Ibu oe. Besok I urus kepulanganmu,” kata Tuan Cheng.
Kata-kata
Tuan Cheng laksana air yang menyegarkan dahagaku. Terlihat benar bahwa
ia mencintaiku, meski hanya sebagai perempuan simpanan. Aku peluki dia
dan bertubi-tubi ciuman kuhadiahkan. Kali ini aku mengucap terima kasih
dengan tulus dan berjanji akan segera menemuinya setelah urusan di
kampung selesai.
Setelah Tuan Cheng berpamit, segera kukemas
barang-barangku. Tak kuhirau lagi kata-kata Marni. Yang terpatri di
benakku cuma satu, aku akan segera pulang! Ibu, anakmu akan segera
pulang! Aku tidak tahu bagaimana Tuan Cheng memberesi semua
surat-suratku. Yang pasti, satu minggu sejak SMS Lik Parmin, aku bisa
berkeliaran dengan bebas sebagai orang asing di Thailand. Tuan Cheng
meyakinkanku bahwa aku tidak akan ditangkap sebagai TKI ilegal.
Perjalanan ke Surabaya mulus tanpa halangan yang berarti selain bahwa
rinduku semakin menjadi-jadi.
Prigi. Desaku masih seperti dulu.
Desa dengan baju kemiskinan melekat di mana-mana. Hutan jati
mengitarinya laiknya penghalang yang memenjara para penghuni di
dalamnya. Aku tak perduli lagi. Setidaknya hutan jati itu masih
menyisakan udara segar untuk kuhirup dalam-dalam memenuhi paru-paruku.
Kuambil sedikit tanah basah. Kubalurkan pada pohon yang tinggi menjulang
itu. Lalu kupeluki satu-satu pohon-pohon itu. Kubaui aroma hutanku.
Inilah kampung halamanku. Dan aku berlari mencari Ibu.
Aku segera
menuju rumah di ujung desa di mana ada sungai kecil mengalir di
sampingnya dan pohon mangga menjulang indah di depannya. Rumahku. Tempat
aku bermain petak umpet dengan Ibu. Tempat aku menggores tanah mencipta
siluet Ibu. Ibu, aku pulang, bisikku. Tak sabar lagi aku ingin
memeluknya, bersimpuh di kakinya dan memohon maaf atas semua luka yang
tak sempat kuseka. Tak sabar lagi aku ingin membaktikan hidupku di sisa
umurnya. Tak sabar lagi aku ingin menebus semua dosa.
Tak terasa
kakiku melangkah lebih cepat, lebih cepat dan lebih cepat lagi. Atap
rumahku sudah terlihat dari ujung jalan. Aku berlari lebih cepat lagi.
Pelataran rumahku dipenuhi rumput, kotor dan tak terurus. Aku segera
menghambur ke pintu kayu yang rapuh, tak terkunci. Aku menemukan rumahku
sunyi dan kosong. Hanya siluet Ibu yang kubuat waktu aku masih SMA
tergantung di dinding ruang tamu. Tertulis di sana: untuk mengenang Ibu
Sulastri, 10 Juni 1931 – 20 Agustus 2007.
Medio Maret 2011 Cerpen: Ragil Koentjorodjati
0 comments:
Post a Comment